Pengertian dan Tingkatan Mengenai Hadist Shahih
Minggu, 22 April 2018
Add Comment
hpk
1.1 Hadist
Shahih
A.
Apa
itu Sanad dan Matan?
Kata
sanad menurut bahasa "Sandaran", atau sesuatu yang kita
jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadis bersandar kepadanya. Menurut
istilah, sanad adalah berita tentang jalan matan. Yang berkaitan dengan
istilah sanad, terdapat kata-kata seperti al-isnad, al-musnid, dan al-musnad.
Kata al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan
mengangkat. Yang dimaksud disisni, ialah menyandarkan hadis kepada orang yang
mengatakannya (raf'u hadits ilaqa'ilih atau 'azwu hadits ila qa'ilih). Menurut
Al-Tahiby, sebenarnya kata al-isnad dan al-sanad digunakan oleh para ahli hadits
dengan pengertian yang sama.
Sedangkan
kata matan atau "al-matn" menurut bahasa berarti mairtafa'a
min al-ardhi (tanah yang meninggi). Sedang menurut istilah adalah
suatu kalimat tempat berakhirnya sanad.ada juga redaksi yang lebih simple lagi,
yang menyebutkan bahwa matan adalah uung sanad (gayah as-sanad). Dari semua
pengertian diatas, menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan matan, ialah materi
atau lafaz hadits itu sendiri.[1]
B.
Pengertian
Hadist Shahih
Kata shahih menurut bahasa
diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim yaitu orang yang sakit jadi
yang dimaksudkan hadis shahih adalah hadis yang sehat dan benar tidak terdapat
penyakit dan cacat.sedangkan menurut istilah Hadis shahih adalah hadis
yang muttashil (bersambung) sanadnya, Adil perawinya, Kuat Hafalannya (dhabit),
selamat dari syadz, dan selamat dari penyakit yang tersembunyi atau cacat (‘illat).
Ibn al-Shalah
mendefinisikan Hadist Shahih yaitu Hadis Musnad yang bersambung sanad-nya
dengan periwayatan perawi yang adil dan dhabith, (yang diterimanya) dari perawi
(yang lain) yang adil dan dhabith hingga ke akhir (sanad)-nya, serta Hadist
tersebut tidak syadz dan tidak ber-‘illat.[2]
Dari kedua
definisi diatas dapat disimpulkan, bahwa suatu hadist dapat dinyatakan Shahih apabila telah memenuhi kriteria
tertentu. Kriteria yang telah dirumuskan oleh para ulama tentang Hadist Shahih adalah sebagai berikut:
1. Sanad hadist
tersebut harus bersambung. Maksudnya adalah bahwa setiap perawi menerima Hadist
secara langsung dari perawi yang berada diatasnya, dari awal sanad sampai ke
akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada nabi Muhammad SAW sebagai sumber Hadist
tersebut. Hadist-hadist yang tidak bersambung sanadnya tidak dapat disebut Shahih, yaitu seperti hadist Munqathi’, Mu’allaq, dan lainnya yang
sanad-nya tidak bersambung.[3]
2. Perawinya
adalah adil. Setiap perawi Hadist tersebut harus bersifat adil, yaitu memenuhi
kriteria berikut: Muslim, Baligh, Berakal, taat beragama, tidak melakukan
perbuatan fasik, dan tidak rusak muru’ah-nya.[4]
3. Perawinya
adalah Dhabith, artinya perawi Hadist
tersebut memiliki ketelitian dalam menerima Hadist, memahami apa yang ia dengar,
serta mampu mengingat dan menghafalnya sejak ia menerima Hadist tersebut sampai
pada masaketika ia meriwayatkannya. Atau, ia mampu memelihara catatannya dari
kekeliruan, atau dari terjadinya pertukaran, pengurangan, dan sebagainya, yang
dapat mengubah Hadist tersebut. Ke-dhabith-an seorang perawi dapat dibagi
menjadi dua, yaitu: Dhabith Shadran
(Kekuatan ingatan atau Hafalannya) dan Dhabith
Kitaban (Kerapiandan ketelitian tulisan atau catatannya).
4. Bahwa Hadist
yang diriwayatkan tersebut tidak Syadz.
Artinya, Hadist tersebut tidak menyalahi riwayat perawi yang lebih Tsiqat daripadanya.
5. Bahwa Hadist
yang diriwayatkan tersebut selamat dari ‘illat yang merusak.Yang dimaksud
dengan ‘illat dalam suatu hadist,
adalah sesuatu yang sifatnya samar-samar atau tersembunyi yang dapat melemahkan
Hadist tersebut. Sepintas terlihat hadist tersebut shahih, namun apabila
diteliti lebih lanjut akan terlihat cacat yang merusak hadist tersebut.
Umpamanya, Hadist Mursal (yang
terputus sanadnya) dinyatakan sebagai Hadist
Maushul (Bersambung sanad-nya), atau Hadist
Mauquf dinyatakan sebagai Hadist
Marfu’ dan lain sebagainya.[5]
Kelima
persyaratan diatas merupakan tolak ukur untuk menentukan suatu Hadist itu
sebagai Hadist Shahih. Apabila kelima
syarat tersebut di penuhi secara sempurna, maka Hadist tersebut dinamai Hadist Shahih Lidzatihi.
C.
Tingkatan
Hadist Shahih
Di
dalam istilah para Ulama Hadist, berkaitan dengan kualitas para perawi atau
sanad suatu hadist, dikenal apa yang disebut dengan Ashahh al-Asanid, yaitu jalur sanad yang dianggap para perawinya
paling Shahih berdasarkan
kesempurnaan pemenuhan syarat-syarat ke-shahihan suatu hadist. Akan tetapi para
Ulama Hadist mempunyai penilaian masing-masing terhadap sanad yang mereka
anggap sebagai Ashahh al-Asanid.
Oleh karenanya, terdapat lima jalur yang
dianggap sebagai Ashahh al-Asanid,
yaitu:
1. Ashahh al-Asanid menurut versi Ishaq ibn
Rahawaih dan Ahmad adalah:
Al-Zuhri dari Salim ayahnya (‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab).
2. Ashahh al-Asanid menurut versi Ibn al-Madini danAl-Fallas adalah: Ibn Sirin dari
‘Ubaidah dari Ali ibn Abi Thalib.
3. Ashahh al-Asanid menurut versi IbnMa’in adalah: Al-A’masy dari Ibrahim dari
‘Alqamah dari ‘Abd Allah ibn Mas’ud.
4. Ashahh al-Asanid menurut versi Abu Bakar ibn Abi Syaibah adalah: Al-Zuhri dari Ali
ibn al-Husain dari ayahnya dari Ali ibn Abi Thalib.
Sebagian Ulama Hadist membagi tingkatan
Hadist Shahih, berdasarkan kepada kriteria yang dipedomani oleh para Mukharrij (Perawinya terakhir yang
membukukan) Hadist Shahih tersebutkepada tujuh tingkatan, yaitu sebagai
berikut:
1. Hadist yang
disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
2. Hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhari saja.
3. Hadist yang
diriwayatkan oleh Muslim saja.
4. Hadist yang
diriwayatkan sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
5. Hadist yang
diriwayatkan menurut persyaratan Bukhari.
6. Hadist yang
diriwayatkan menurut persyaratan Muslim.
7. Hadist Shahih
menurut Imam-Imam Hadist lainnya yang tidak mengikuti syariat Bukhari dan
Muslim, seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban.[7]
[1] http://awwabin-awabin.blogspot.co.id/2012/01/hadist-ditinjau-dari-kualitas-sannad.html
(di akses pada 31 maret 2018
Ibn al-Shalah. ‘Ulum al-Hadits, hlm. 10.
Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits, hlm. 305.
Diantara para Ulama ada yang menambahkan ketentuan lain tentang sifat
adil ini, yaitu seperti Tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil, tidak
berbuat bid’ah, tidak maksiat, baik akhlaqnya, dapat dipercaya beritanya, dan
biasa berpijak pada kebenaran. Lihat pada M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1988), hlm. 144
Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits, hlm. 305; Al-Thahhan, Taisir,
hlm. 33-34.
Ibid., hlm. 36.
Ibid., hlm. 42-43.
0 Response to "Pengertian dan Tingkatan Mengenai Hadist Shahih"
Posting Komentar