Hukum Tahlilan Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah
Sabtu, 18 April 2020
Add Comment
hpk
Assalamualaikum wr wb wahai sahabat Media Muslim Islamidina kali ini kita akan membagikan pendapat ulama tentang Hukum Tahlilan menurut Ahlussunnah wal Jamaah yang insyaallah sesuai dengan Al Quran dan Hadist.
Sebagian umat Muslim di Indonesia mengamalkan Tahlilan
, yaitu kegiatan membaca serangkaian ayat Alquran dan kalimat
thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir), yang pahalanya
dihadiahkan kepada ayah, ibu, kakek, nenek, sanak saudara atau kepada
siapa saja yang diniatkan.
Tahlilan tersebut biasanya dilaksanakan tiga hari atau tujuh hari berturut-turu setelah meninggalnya seorang anggota keluarga. Bagi yang mampu bisa mengamalkannya juga pada hari ke-40, ke-100, atau ke-1000-nya.
Baca Juga : Doa Ziarah Kubur
Tahlilan juga sering dilaksanakan secara rutin pada malam Jumat atau malam-malam tertentu lainnya. Setelah tahlilan, biasanya pemilik hajat akan memberikan hidangan makanan untuk dimakan di tempat oleh Muslim yang ikut tahlilan, atau dibawa pulang oleh mereka.
Dengan demikian, inti tahlilan adalah: Pertama, menghadiahkan pahala bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit. Kedua, mengkhususkan bacaan itu pada waktu-waktu tertentu, yaitu tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, dan sebagainya. Ketiga, bersedekah untuk mayit, berupa pemberian makanan untuk peserta tahlilan. Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama terkait ketiga masalah tersebut?
Hukum Tahlilan Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit. Pertama, ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, menghadiahkan pahala bacaan Alquran serta kalimat thayyibah kepada mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang mayit. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan:
أَنَّ الْإِنْسَانَ لَهُ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ،
عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ
حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ الْأَذْكَارَ إلَى
غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى
الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ.
Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk orang
lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa salat,
puasa, haji, sedekah, bacaan Qur’an, zikir, atau sebagainya, berupa
semua jenis amal baik. Pahala itu sampai kepada mayit dan bermanfaat
baginya. (Lihat: Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud
Daqaiq, juz 5, h. 131).
Sedangkan, Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menyebutkan:
وَإِنْ قَرَأَ الرَّجُلُ، وَأَهْدَى ثَوَابَ قِرَاءَتِهِ لِلْمَيِّتِ، جَازَ ذَلِكَ، وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ أَجْرُهُ.
Jika seseorang membaca Alquran, dan menghadiahkan pahala bacaannya
kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai
kepada mayit. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi,
Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, h. 173).
Senada dengan kedua ulama di atas, imam Nawawi dari mazhab Syafi’i menuturkan:
Senada dengan kedua ulama di atas, imam Nawawi dari mazhab Syafi’i menuturkan:
وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ أَنْ يُسَلِّمَ عَلَى الْمَقَابِرِ، وَيَدْعُوْ
لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ أَهْلِ الْمَقْبَرَةِ، وَالأَفْضَلُ أَنْ
يَكُوْنَ السَّلَامُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبَتَ فِي الْحَدِيْثِ،
وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ، وَيَدْعُو
لَهُمْ عَقِبَهَا.
Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada
(penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua
penghuni kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang
sudah ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunahkan membaca apa
yang mudah dari Alquran, dan berdoa untuk mereka setelahnya. (Lihat:
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 311).
Mengomentari hadits tersebut, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, hadits ini menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari atau sebagian waktu untuk melaksanakan amal saleh, dan melanggengkannya. (Lihat: Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 4, h. 197).
Artinya, mengkhususkan hari tertentu seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, ke-1000, malam Jumat, atau malam lainnya untuk membaca Alquran dan kalimat thayyibah, hukumnya boleh.
Mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi berkata, hadits ini menjelaskan bahwa bersedekah untuk mayit bermanfaat, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Para ulama bersepakat tentang sampainya pahala sedekah kepada mayit. (Lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, juz 7, h. 90).
Syekh Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali juga menuturkan:
وَأَيُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا، وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ،
نَفَعَهُ ذَلِكَ، إنْ شَاءَ اللَّهُ. أَمَّا الدُّعَاءُ،
وَالِاسْتِغْفَارُ، وَالصَّدَقَةُ، وَأَدَاءُ الْوَاجِبَاتِ، فَلَا
أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا.
Dan apapun ibadah yang dia kerjakan, serta dia hadiahkan pahalanya
kepada mayit muslim, akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun
doa, istighfar, sedekah, dan pelaksanaan kewajiban maka saya tidak
melihat adanya perbedaan pendapat (akan kebolehannya). (Lihat: Abdullah
bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 5, h. 79).
Di antara ulama yang membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Alquran dan
kalimat thayyibah kepada mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Dalam kitab
Majmu’ul Fatawa disebutkan:
وَأَمَّا الْقِرَاءَةُ وَالصَّدَقَةُ وَغَيْرُهُمَا مِنْ أَعْمَالِ
الْبِرِّ فَلَا نِزَاعَ بَيْنَ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِي
وُصُولِ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ كَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ،
كَمَا يَصِلُ إلَيْهِ أَيْضًا الدُّعَاءُ وَالِاسْتِغْفَارُ وَالصَّلَاةُ
عَلَيْهِ صَلَاةُ الْجِنَازَةِ وَالدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِهِ.
وَتَنَازَعُوا فِي وُصُولِ الْأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ، كَالصَّوْمِ
وَالصَّلَاةِ وَالْقِرَاءَةِ. وَالصَّوَابُ أَنَّ الْجَمِيعَ يَصِلُ
إلَيْهِ.
Dan adapun bacaan, sedekah, dan sebagainya, berupa amal-amal kebaikan,
maka tidak ada perselisihan di antara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah
akan sampainya pahala ibadah harta, seperti sedekah dan pembebasan
(memerdekakan budak). Sebagaimana sampai kepada mayit juga, pahala doa,
istighfar, salat jenazah, dan doa di samping kuburannya. Para ulama
berbeda pendapat soal sampainya pahala amal jasmani, seperti puasa,
salat, dan bacaan. Menurut pendapat yang benar, semua amal itu sampai
kepada mayit. (Lihat: Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ul
Fatawa, juz 24, h. 366).
Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan
Alquran dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal
itu tidak diperbolehkan. Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis:
قَالَ فِي التَّوْضِيحِ فِي بَابِ الْحَجِّ: الْمَذْهَبُ أَنَّ
الْقِرَاءَةَ لَا تَصِلُ لِلْمَيِّتِ حَكَاهُ الْقَرَافِيُّ فِي
قَوَاعِدِهِ وَالشَّيْخُ ابْنُ أَبِي جَمْرَةَ
Penulis kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab Haji:
Pendapat yang diikuti dalam mazhab Maliki adalah bahwa pahala bacaan
tidak sampai kepada mayit. Pendapat ini diceritakan oleh Syekh Qarafi
dalam kitab Qawaidnya, dan Syekh Ibnu Abi Jamrah. (Lihat: Muhammad bin
Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4,
h. 173).
Dari paparan di atas, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali, dan Syekh Ibnu Taimiyyah membolehkannya. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain melarangnya.
Dari paparan di atas, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali, dan Syekh Ibnu Taimiyyah membolehkannya. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain melarangnya.
Hukum mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Alquran dan kalimat thayyibah.
Mayoritas ulama membolehkan pengkhususan waktu tertentu untuk beribadah
atau membaca Alquran dan kalimat thayyibah, seperti malam Jumat atau
setelah melaksanakan salat lima waktu. Mereka berpegangan kepada hadis
riwayat Ibnu Umar:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْ مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا
وَرَاكِبًا. وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi
wasallam selalu mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, dengan
berjalan kaki dan berkendara. Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma
juga selalu melakukannya.
Baca Juga : Lirik Sholawat Allahul Kahfi
Mengomentari hadits tersebut, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, hadits ini menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari atau sebagian waktu untuk melaksanakan amal saleh, dan melanggengkannya. (Lihat: Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 4, h. 197).
Artinya, mengkhususkan hari tertentu seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, ke-1000, malam Jumat, atau malam lainnya untuk membaca Alquran dan kalimat thayyibah, hukumnya boleh.
Hukum bersedekah untuk mayit.
Para ulama sepakat bahwa bersedekah untuk mayit hukumnya boleh, dan
pahala sedekah sampai kepadanya. Mereka berpedoman pada hadits riwayat
Aisyah radhiyallahu anha:
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا، وَلَمْ تُوصِ
وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ. أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ
تَصَدَّقْتُ عَنْهَا. قَالَ «نَعَمْ».
Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata:
“Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba,
dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya sebelum meninggal dia sempat
berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia mendapatkan pahala jika saya
bersedekah untuknya?” Rasul bersabda: “Ya.”
Mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi berkata, hadits ini menjelaskan bahwa bersedekah untuk mayit bermanfaat, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Para ulama bersepakat tentang sampainya pahala sedekah kepada mayit. (Lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, juz 7, h. 90).
Akhir Kata
Nah Begitulah Hukum Tahlilan ditulis Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa
Mamba’ul Ma’arif Tulungagung yang juga Dosen IAIN Tulungagung,
sebagaimana dilansir dair laman resmi Nahdatul Ulama (NU Online) pada
Rabu (31/12/2019).
Demikian Sahabat Ulasan kita kali ini tentang Hukum Tahlilan Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, jangan lupa bagikan ila bermanfaat. Wassalamualaikum wr wb. Wallohu A'lam Bisshowab.
0 Response to "Hukum Tahlilan Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah"
Posting Komentar